SEMBILAN ELEMEN JURNALISME
“Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik”
Oleh Bill Kovach & Tom Rosenstiel
Bill Kovach dan Tom Roseinstel adalah wartawan yang nyaris tanpa cacat merekalah yang menulis buku The Elements of Journalism. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana. Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.
Jurnalistik dan media, ada benang merah yang mengikat keduanya agar berjalan beriringan, Jurnalistik sendiri memerlukan media untuk mengungkap fakta dan realita begitu juga media ia tidak akan berarti apa-apa tanpa jurnalistik di dalamnya, ia seperti wadah kosong. Keinginan untuk melayani publik dengan informasi yang berkembang merupakan hasrat dari semua manusia, semua manusia bisa menjadi jurnalis, namun tidak semuanya bisa menjadi jurnalis yang baik. Jurnalisme yang hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi sebuah motivasi untuk membangun sebuah masyarakat. Jurnalisme hadir juga untuk memenuhi hak-hak warga Negara yang demokratis serta menjadi tonggak ke empat dalam sebuah Negara yang demokratis setelah lembaga-lembaga tinggi Negara, seperti lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif. Jurnalisme juga ada untuk sebuah demokrasi. Tetapi, tujuan yang paling penting dari jurnalisme adalah menyediakan informasi untuk masyarakat agar masyarakat dapat hidup bebas dan mengatur dirinya sendiri.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme, yang didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara dengan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
Dalam upaya mempertahankan tujuan itu, mereka membuat sembilan elemen yang seharusnya diketahui wartawan dan yang diharapkan warga.
Dalam upaya mempertahankan tujuan itu, mereka membuat sembilan elemen yang seharusnya diketahui wartawan dan yang diharapkan warga.
Sembilan elemen jurnalisme seperti yang diungkap Kovach dan Rosenstiel adalah semacam pegangan bagi wartawan (jurnalis). Apa yang seharusnya dilakukan wartawan dan apa yang diharapkan publik. Ada nilai dalam sembilan elemen jurnalisme mengkoridori laku dan moral wartawan sebagai pemberi informasi, fakta, dan data sebenarnya (bukan yang ideal). Seperti kita tahu, sembilan elemen jurnalisme meliputi; wajib menyampaikan kebenaran, loyalitas kepada masyarakat, disiplin verifikasi, independensi terhadap sumber berita, pemantau kekuasaan, menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat, berusaha keras membuat hal yang penting, menarik dan relevan, kompherensif dan proporsional, serta diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Tujuan mereka dengan buku ini bukanlah menawarkan sebuah argumen bagaimana seharusnya wujud jurnalisme, melainkan meringkas pijakan bersama yang selama ini sudah menjadi dasar wartawan untuk bersikap.
Elemen yang pertama adalah, kewajiban jurnalisme di dalam sebuah kebenaran. Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan. Kebenaran, adalah sebuah prinsip pertama dan paling membingungkan. Secara alami jurnalisme bersifat reaktif dan praktis, ketimbang filosofis dan introspektif. Bentuk kebenaran yang bisa dipraktikkan dan fungsional. Warga menjalani hidup berdasarkan kebenaran ini untuk sementara waktu karena hal ini penting untuk penyelenggaraan kehidupan sehari-hari. Bagaimana membuat suatu berita menuju ke kebenaran?
Setiap orang mempunyai beraneka ragam pandangan tentang arti dari kebenaran ini. Kovach dan Rosenstiel pun berusaha menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Namun, apa yang di maksud dengan kebenaran ini juga dapat di revisi. Seorang tahanan dapat di nyatakan bebas karena tidak bersalah bahkan ilmu alam pun seperti fisika, biologi dan kimia juga dapat salah dan juga dapat di revisi.
Hal ini juga dapat di lakukan oleh jurnalisme. Bukan sekedar kebenaran yang bersifat filosofis. Tapi sebuah kebeneran dalam tataran fungsional. Kovach dan Rosenstiel juga mencontohkan bahwa kebenaran dalam jurnalisme juga terbentuk lapisan demi lapisan. Sebagai contoh yang lebih nyata keduanya memberikan contoh kasusu Abner Louima, imigran Haiti yang tertangkap karena mengacau di luar sebuah klab malam di Brooklyn pada 1997. Cerita ini pertama kali terlihat sebagai berita polisi singkat. Namun tiga hari kemudian, penulis kolom Daily News di New York, Mike McAlary menjumpai Louima di rumah sakit dan mewawancarainya. Louima membeberkan bahwa polisi dengan brutal menyodominya dengan pegangan torak pompa toiler. Hari itu, poolisi mencopot dua polisi yang terlibat dalam penangkapan. Dua hari kemudian, dalam waancara kedua, Louima tanpa bukti yang kuat menyebut apa yang dikatakan polisi yang menangkapnya, “Ini adalah masa Guliani (merujuk pada Walikota Rudolph Guliani, seorang Amerika keturunan Itali). Ini bukan masa Dinkins (merujuk pada mantan Walikota David Dinkins, seorang Amerika keturunan Afrika).” Lebih banyak lagi petugas yang dicopot dari tugas, dan segera setelah itu warga menggelar protes di Brooklyn. Dalam hitungan hari New York Times mempublikasikan laporan mendalam yang mengisyaratkan bahwa turunnya kejahatan di kota New York terkait dengan meningkatknya pelecehan dan kebrutalan polisi terhadap tersangka. Setahun kemudian, Louima menarik kembali pernyataan “masa Guliani” yang dilontarkannya tanpa bukti, sekalipun ia menarik kata-katanya tentang perlakuan brutal yang menimpanya. Beberapa bulan kemudian, City Journal milik Manhattan Institute menerbitkan sebuah artikel yang menunjukan bahwa terlepas dari insiden keberutalan polisi yang banyak mendapat sorotan tersebut, Departemen Polisi New York relative meiliki catatan yang baik dalam persoalan ini.
Saat pers moderen mulai terbentuk bersama dengan kelahiran teori demokrasi, janji untuk berlaku jujur dan akurat, dengan cepat jadi bagian yang kuat dari pemasaran surat kabar yang paling awal. “kebenaran jurnalistik” ini adalah lebih dari sekedar akurasi. Pengejaran kebenaran tidak berat sebelah adalah yang paling membedakan dari bentuk komunikasi yang lain.Seorang jurnalis harus memberikan fakta yang akurat, yang diperoleh dari sikap disiplin profesional dalam mengumpulkan dan melakukan verifikasi data. Karena pada dasarnya, kebenaran itu tidak bisa langsung terungkap secara utuh, melainkan sedikit demi sedikit dan menuju pada kebenaran yang sesungguhnya atau kebenaran yang lebih lengkap. Dengan adanya sikap transparan jurnalis tersebut, maka audience dapat memberikan penilaian mereka tentang informasi yang disajikan.
Jurnalisme harus dan bisa mengejar kebenaran di dalam pengertian yang bisa masyarakat jalankan dari hari ke hari. Memahami kebenaran jurnalistik adalah sebuah proses menuju pemahaman yang sebenarnya lebih membantu dan realistis.
Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”. Dengan arti lain memegang sebuah kepercayaan public.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut lama kelamaan menjadi pertanyaan yang penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga. Jurnalisme mempunyai misi untuk melayani kepentingan masyarakat, sehingga media massa harus dapat menjamin bahwa informasi yang mereka berikan kepada audience tidak demi keuntungan kelompok-kelompok tertentu, diri sendiri, maupun sponsor dari media tersebut.
Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens).Loyalitas jurnalisme adalah untuk masyarakat. Jurnalisme bekerja untuk warga. Komitmen kepada warga lebih besar ketimbang egoisme profesional. Kesetiaan kepada warga ini adalah makna dari apa yang kita sebut independensi jurnalistik. Seperti yang akan kita lihat, istilah tersebut sering dipakai sebagai sinonim untuk gagasan-gagasan lain, termasuk ketidakterikatan, tidak berat sebelah, dan ketidak berpihakan. Sayangnya komersialime yang melanda perusahaan-perusahaan media membuat wartawan bingung tentang loyalitas mereka.
Pemikiran bahwa wartawan melayani warga pada urutan teratas masih dipercaya oleh banyak wartwan. Pertanyaan, “Kepada siapa Anda bekerja?” mendapat tanggapan yang cukup kuat di antara wartawan yang Kovach dan Roseinstel wawancarai, mereka mengambil contoh tentang survey sebuah nilai tentang jurnalisme yang dilakukan dari hasil riset mitra akademik mereka yaitu, William Damon, Howard Gardner, dan Mihaly Csikzentmihalyi dan juga bantuan riset dari CCJ dan Pew Research Center for the People and the Press.
Dalam survey tentang nilai-nilai jurnalisme pada 1999, yang dilakukan oleh Pew Research Center fo the People and Committee of Concerned Journalists, lebih dari 80 persen responden mendapatkan “kewajiban pertama adalah kepada pembaca/pendengar/pemirsa” sebagai “prinsip jurnalisme”. Dalam wawancara mendalam yang terpisah dengan jawaban terbuka dengan psikolog, lebih dari 70 persen wartawan menempatkan “audience” sebagai loyalitas pertama mereka, jauh di atas atasan mereja, diri mereka sendiri, profesi mereka, atau bahkan keluarga mereka”.
Di dalam menjalani profesi sebagai wartawan, selain nama baik sang wartawan yang menjadi taruhan, nama majalah/koran/tabloid juga dipertaruhkan. Tiap wartawan harus bisa membuat berita yang benar dan jelas sumbernya sehingga pembaca, pengiklan, dan masyarakat pun menaruh sebuah kepercayaan, baik kepada tabloid/majalah/koran maupun kepada wartawan tersebut. Sekali saja wartawan membuat kesalahan dengan membuat berita yang tidak benar, maka secara otomatis pihak pembaca, pengiklan, dan masyarakat pun akan merasa terbohongi dan hilanglah kepercayaan mereka kepada wartawan dan media yang bersangkutan. Hal ini jelas merugikan pihak wartawan dan juga media. Jika media mulai kehilangan kepercayaan para pembacanya, keuntungan penjualan koran/majalah/tabloid pun akan menurun, serta mencoreng nama baik wartawan dan media yang bersangkutan.
Sebenarnya pemilik perusahaan media harus mendahulukan warga. Merekalah yang sering memilih dan memutuskan kualitas berita. Para pemilik perusahaan media perlu mengkomunikasikan standar yang jelas kepada wartawan dan publik.
Disiplin verifikasi dalam elemen yang ketiga ini sangat penting bagi seorang wartawan. Disiplin verifikasi adalah ihwal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Hanya jurnalisme yang sejak awal berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya. Jurnalisme verifikasi juga membedakan dari jurnalisme omongan. Hal ini dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dapat membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Dengan mengandalkan disiplin verifikasi, seorang wartawan mampu membedakan mana berita yang bersifat desas-desus, gosip, ingatan yang keliru ataupun manipulasi. Tujuan dari mempunyai disiplin verifikasi ini ialah untuk menyampaikan sebuah berita yang akurat.
Mereka berpendapat bahwa “saudara sepupu” dari hiburan adalah infotaiment. Para wartawan harus mengerti agar mereka tahu batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak. Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Banyak yang belum tahu bagaimana standar verifikasi bagi wartawan itu sendiri, hal ini disebabkan karena tidak adanya sosialisasi yang di komunikasikan kepada para wartawan.
Verifikasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari sebanyak mungkin sumber. Makin banyak sumber yang diperoleh, makin akurat pula berita yang akan disampaikan karena verifikasi ini juga dimaksudkan untuk menyaring berita-berita yang diperoleh dan memilah berita yang mengandung kebenaran dari berita-berita lainnya.
Awalnya, kaum jurnalis mengenal apa yang disebut dengan realisme, yaitu menyajikan berita begitu saja sesuai dengan fakta yang ada, sehingga kebenaran itu akan muncul dengan sendirinya. Hal ini bersamaan dengan munculnya sistem karangan berbentuk piramida terbalik, di mana karangan dimulai dari hal yang paling penting sampai akhirnya ke hal yang tidak penting, sehingga pembaca dapat memahami berita secara alamiah. Dan ini mengarah kepada objektifitas yang sesungguhnya adalah disiplin dalam melaksanakan verifikasi.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
· Jangan menambah atau mengarang apapun dalam penulisan suatu berita;
· Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
· Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
· Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
· Bersikaplah rendah hati.
Selain itu, mereka juga mengungkapkan metode kongkrit dalam melaksanakan verifikasi, yaitu :
· Penyuntingan secara skeptis, yaitu selalu mempertanyakan, meragukan, dan mewaspadai segala sesuatu yang diterima
· Memeriksa akurasi
· Jangan berasumsi; harus mendekati sumber primer yang merupakan saksi langsung. Hindari sumber anonim atau sumber dengan atribusi (perkecualian harus didiskusikan lebih dulu dengan redaktur).
· Ada 3 lingkaran konsentris tentang sumber, yaitu data sekunder yang berasal dari media lain, dokumen-dokumen, dan saksi mata.
· Pengecekan fakta.
Ada tujuh kriteria anonim :
· Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama "peristiwa berita" yang kita laporkan. Artinya, dia menyaksikan sendiri atau terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Dia bisa merupakan pelaku, korban, atau saksi mata.
· Keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya kita buka
· Motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik.
· Integritas sumber harus Anda perhatikan.
· Harus seizin atasan Anda (editor).
· Ingat aturan Ben Bradlee, redaktur eksekutif harian Washington Post zaman skandal Watergate. Dia hanya mau meloloskan sebuah keterangan anonim kalau sumbernya minimal dua orang.
· Bill Kovach sendiri menambahkan satu syarat lagi. Kita harus membuat sangat jelas dengan calon sumber anonim kita bahwa perjanjian keanoniman akan batal dan nama mereka akan kita buka ke hadapan publik, bila kelak terbukti si sumber berbohong atau sengaja menyesatkan kita dengan informasinya.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu.
Elemen keempat adalah praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Jurnalis tidak hanya harus bersikap netral dalam melakukan peliputan dan pemberitaan, tetapi harus membuka jiwa dan pemikirannya agar tidak terpengaruh oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan.
Wartawan harus bersikap independen, yakni tidak memihak golongan mana pun, alias bersifat objektif. Wartawan harus mempunyai prinsip ANTI DIBAYAR OLEH NARASUMBER, sebab terkadang ada saja narasumber yang menawarkan membayar sejumlah uang alias menyogok kepada wartawan agar beritanya tidak dipublikasikan.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas. Dengan pernyataan Kovach dan Rosenstiel, timbulah sebuah pertanyaan dikalangan masyarakat bahwa, “apakah seorang wartawan boleh bersikap untuk tidak netral ?”. Mereka pun menjawab pertanyaan yang ada di public tersebut, menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Independensi semangat bahkan menjangkau penulisan opini yang tidak ideologis.
Persoalan independensi tidak terbatas pada ideologi. Saat wartawan menjadi lebih terlatih, berpendidikan lebih tinggi, dan dalam banyak hal mendapatkan bayaran lebih baik, maka muncullah komplikasi lain tentang independensi. Tidak boleh pula menjadi seorang wartawan BODREX, yakni wartawan yang membuat narasumber sakit kepala, dengan cara meminta uang agar tulisan tidak jadi dipublikasi. Intinya, sebagai seorang wartawan, tidak boleh menerima uang sogokan, maupun memaksa narasumber untuk memberi imbalan tutup mulut.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
Elemen jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Di dalam Negara yang demokrasi seperti Indonesia, fungsi dari pers adalah sebagai watchdog bagi pemerintah dan rakyat juga dengan tujuan untuk menegakkan sebuah demokrasi bagi rakyat. Memantau kekuasaan harus dilakukan dengan cara ikut menegakkan demokrasi dan salah satu caranya ialah dengan investivigative reporting. Investivigative reporting artinya bahwa wartawan harus selalu melakukan investigasi terhadap suatu hal yang hendak diberitakan. Kovach dan Rosenstiel berpendapat bahwa, memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Namun sayangnya, prinsip anjing penjaga (wacthdog) ini tengah terancam dalam jurnalisme dewasa ini oleh penggunaannya yang berlebihan, dan oleh peran anjing penjaga palsu yang lebih ditunjukkan untuk menyajikan sensasi ketimbang pelayan publik. Lebih serius lagi, peran anjing penjaga terancam oleh jenis baru konglomerasi perusahaan, yang secara efektif bisa merusak independensi yang dibutuhkan pers untuk menjalankan peran pemantauan mereka. Prinsip anjing penjaga bermakna tak sekedar memantau pemerintahan, tapi juga meluas hingga pada semua lembaga yang kuat di masyarakat.
Tujuan peran anjing penjaga juga berkembang, ia tak hanya menjadikan manajemen dan pelaksana kekuasaan transparan semata, tapi juga menjadikan akibat dari kekuasaan itu diketahui dan dipahami. Pers harus mengenali kapan lembaga kekuasaan bekerja secara efektif, dan kapan tidak. Anjing penjaga tidaklah seperti peran yang lain. Sekalipun elemennya serupa dengan jurnalisme yang lain, prinsip ini mensyaratkan keterampilan khusus, temperamen khusus, dan rasa lapar yang khusus. Prinsip ini juga mensyaratkan komitmen serius dari sumber, hasrat untuk meliput masalah yang penting, dan sebuah pers yang independen dari kepentingan apapun kecuali bagi konsumen berita. Gara-gara peran anjing penjaga dijadikan lip service, prinsip ini seperti halnya prinsip lain yang di paparkan di sini, kini menghadapi lebih banyak tantangan ketimbang sebelumnya. Namun, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, kondisi jurnalisme yang berkembang sebagai forum publik telah membiakkan gelombang baru jurnalisme omongan, yang membuat kebutuhan akan jurnalisme anjing penjaga yang bersemangat dan serius menjadi kian penting.
Memantau kekuasaan orang pun harus dilakukan dengan sopan, jika narasumber tidak mau diwawancara, sebagai seorang wartawan, tentunya harus bisa menghargai narasumber.
Saat terbit sebuah berita, tentunya terdapat banyak sekali komentar masyarakat yang beraneka ragam. Oleh karena itu, dengan adanya jurnalisme, aspirasi masyarakat tersebut dapat tertampung, dengan hadirnya kolom Surat Pembaca, misalnya. Hal ini sangat bersangkutan dengan elemen jurnalisme yang ke enam yaitu menjadi forum bagi public. Pers adalah sebuah alat bagi masyarakat untuk menyambungkan lidah mereka kepada pemerintah atau pun sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan aspirasi mereka sebagai warga Negara. Saat dipublikasikan, jurnalisme yang baik akan mampu membangkitkan rasa ingin tahu orang banyak. Reaksi yang beragam pun otomatis terlontarkan, baik positif maupun negatif. Masyarakat secara alamiah akan mengeluarkan aspirasi mereka. Tentu aspirasi tersebut akan lebih baik jika disalurkan dengan koordinasi yang baik pula. Jurnalisme di sini harus mampu menjadi sebuah wadah masyarakat untuk mengeluarkan aspirasi. Laporan berita bukanlah kata-kata yang tercetak beku, dan mereka tidak hidup dalam ruang hampa; mereka adalah bagian percakapan. Dan sekalipun percakapan sudah pasti melibatkan pertukaran informasi, sebagian besar merupakan pertukaran ide dan opini.
Jurnalisme harus menyediakan sebuah forum kritik maupun dukungan masyarakat. Fungsi forum pers ini bisa menghasilkan sebuah demokrasi bahkan di negara besar sekalipun. Caranya adalah mendorong sesuatu yang disebut dasar bangunan demokrasi yaitu kompromi, kompromi, kompromi.
Jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Diskusi publik harus dibangun di atas prinsip-prinsip yang sama sebagaimana hal lain dalam jurnalisme. Diskusi publik dapat melayani masyarakat karena bila masyarakat memperoleh berita sesuai fakta dari jurnalis dan mereka mendiskusikannya, maka dapat memungkinkan munculnya cara penanggulangan suatu masalah. Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi. Diskusi publik harus dibangun di atas prinsip-prinsip yang sama sebagaimana hal lain dalam jurnalisme—kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tak punya sikap hormat pada fakta akan gagal memberi informasi. Sebuah debat yang dipenuhi prasangka dan pengandaian hanya akan menimbulkan amarah.
Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta yang secara langsung tidak memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi dari sebuah talkshow sangat kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun sebuah infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat bahwa, jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.
Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman. Penyedia berita kita menciptakan sejumlah saluran yang memungkinkan warga berinteraksi. Saluran ini bisa meliputi surat, email, kontak telepon. Ruang untuk menulis kolom opini tamu, kesempatan untuk membuat saran berita, dan ombudsman. Meliputi juga penampilan publik oleh anggota staf dalam acara pertemuan-pertemuan umum, diskusi panel, juga dialog radio interaktif dan penampilan televisi.
Asumsinya adalah setiap manusia mempunyai rasa ingin tahu. Apabila sebuah pemeberitaan di media cetak atau pun siar mendapatkan respon dari masyarakat, jurnalisme harus bisa menjadi sebuah forum bagi public untuk memberikan pengarahan ataupun kejelasan bagi sebuah berita.
Element ketujuh adalah jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan. Jurnalisme adalah mendongeng dengan sebuah tujuan. Tujuannya adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Bukan semata hiburan. Bagi seorang wartawan, kemampuan menginvestigasi tidaklah cukup, seorang wartawan harus mampu meracik sebuah tulisan, agar tulisan yang dibuat menarik pembaca untuk membaca.
Jurnalis tidak hanya menyajikan berita yang diinginkan oleh masyarakat, tetapi juga berita yang penting dan wajib diketahui. Oleh karena itu, jurnalis harus pintar dalam mengemas berita agar apa yang awalnya penting tetapi tidak menarik perhatian pembaca, menjadi menarik dan dibaca oleh masyarakat. Sehingga, jurnalis memerlukan kemampuan untuk membuat narasi, yang komposisinya pas dan dapat membawa emosi pembaca.
Memikat sekaligus relevan. Banyak orang menganggapnya sebagai dua hal yang sangat bertolak belakang dalam dunia jurnalisme. Sebagai contoh, padahal bukti yang ada di kalangan pembaca cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi, bisnis hingga lifetsyle. Berita selebriti yang sensasional atau cerita-cerita lucu dan menghibur biasanya tidak sesuai dengan keadaan, dikemas dalam bentuk yang dapat menarik perhatian orang. Sebaliknya berita relevan biasanya tidak memikat. Yang disajikan ialah fakta-fakta yang membosankan untuk dibaca. . Hal tersebut justru dianggap salah oleh Kovach dan Rosenstiel. Mereka beranggapan bahwa, wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu. Padahal sesuatu yang relevan bisa tetap memikat jika memang dikemas sedemikian rupa sehingga tidak membosankan.
Ketika orang bicara tentang membuat berita menjadi enak dibaca dan relevan, diskusi menjadi dialektis. Jurnalisme adalah mendongeng dengan sebuah tujuan. Tujuannya adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Tantanganya adalah menemukan informasi yang orang butuhkan dan membuatnya bermakna, relevan, dan enak disimak. Hal ini memang merupakan tantangan yang sulit dilakukan pada awalnya, akan tetapi dengan mempelajari penulis yang baik dan menarik dalam hal penulisan berita, maka lama-lama seorang wartawan pun bisa membuat sebuah tulisan yang menarik.
Dengan kata lain, tanggung jawab wartawan adalah bukan sekedar menyediakan informasi, tapi menghadirkan sedemikian rupa sehingga orang tertarik untuk menyimak.
Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Tak jarang surat-surat kabar menampilkan berita yang tidak proporsional, terlihat dari judul berita yang terlihat sensasional dan hanya menekankan kepada aspek emosional, agar mengundang pembaca agar membaca. Nilai jurnalisme tergantung pada kelengkapan dan proporsionalitas. Mengumpamakan jurnalisme sebagai peta membantu kita melihat bahwa proporsi dan komprhensivitas menjadi kunci akurasi. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Tugas seorang wartawan adalah membuat berita yang proporsional, tidak berlebih-lebihan dalam membuat sebuah berita, dan jangan pula men-state pendapat sendiri. Seorang wartawan harus menulis apa yang harus ditulis.
Kadang berita-berita yang sensasional tersebut menunjukkan ketidakproporsionalannya. Selain topiknya yang terkesan dibuat-buat, juga ada unsur emosional yang ditambahkan. Jurnalis yang baik ialah yang menjauhkan tulisannya dari penekanan emosional pribadi. Mungkin setiap jurnalis memiliki reaksi tersendiri pada suatu berita yang diliputnya. Namun dalam penyampaian, menekankan aspek emosional pribadi akan membuat berita tersebut dipublikasikan tidak apa adanya.
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Pemilihan berita juga harus sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita. Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
Berita harus dibuat dengan proporsional agar dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat dalam menentukan arah kehidupannya. Pemilihan penting atau tidaknya berita dapat berbeda-beda antara wartawan dan pembaca. Oleh karena itu, keproporsionalan berita harus semakin ditekankan karena pemilihan berita itu bersifat sangat subjektif.
Peran hati nurani dalam menjalani profesi sebagai seorang wartawan ialah tetap memegang teguh apa yang ia rasa benar yang berasal dari hati nuraninya. Inilah elemen yang terakhir dari jurnalisme. Setiap wartawan, dari redaksi hingga dewan direksi harus mempunyai rasa etika dan tanggung jawab sosial. Terlebih lagi, mereka mempunyai rasa tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya hati nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab social, wartawan harus bersikap seperti ini dalam menjalankan profesinya. Agar hal ini dapat terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip sembilan element jurnalistik. Ruang redaksi mesti ada dialog, dengan begitu juga perlu ada keberagaman. Tujuan keberagaman tak hanya membentuk ruang redaksi yang mirip keragaman masyarakat, tapi juga ruang redaksi yang terbuka dan jujur sehingga keberagaman ini bisa berfungsi. Tujuan keberagaman adalah organisasi berita yang lebih akurat. Kuota etnik, gender, dan ras adalah sebuah cara untuk mendekatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar