Minggu, 03 Juli 2011

Feature Pertama & Masuk Koran :D

Pas awal masuk kuliah semester genap kemaren, sempet denger2 gosip segelintingan tentang mata kuliah Menulis Feature. Nah, untuk lulus dalam mata kuliah ini, gue harus bisa masukin tulisan feature gue ke dalam koran. Koran apa aja kecuali koran2 kaya lampu hijau gitu hahaha.

Nah, gue mau sharing tulisan gue aja deh buat yang membaca ya.. Siapa tau dapet informasi yang belum kalian tau hehee :) Silahkan kakak...

FEATURE 1

Bermula dari Teater dan Akan Terus Berkarya di Teater
Oleh Menur Asri Kuning

Kecintaannya terhadap seni peran membuatnya menjadi seorang aktor senior di Indonesia. Slamet Rahardjo, yang semasa kecilnya di panggil Memet ini lahir di Serang, Banten, 21 Juni 1949 memulai kariernya di dunia seni peran bersama Teguh Karya bersama dengan Teater Populer.

“Jogja membentuk pribadi diri saya dari berbagai macam segi.. saya di besarkan di Jogja oleh eyang saya”, tutur Slamet. Ia di asuh dan di besarkan oleh kakek beserta neneknya di sebuah rumah kecil yang berada di Lempuyangan, Yogyakarta. Slamet yang pada saat itu masih berusia 14 tahun diajarkan untuk selalu disiplin dan fokus dalam mengerjakan sebuah hal. “Setiap pagi saya di suruh sama eyang saya untuk menimba air, saya harus bangun lebih awal dibandingkan adik-adik saya..” ungkap Slamet tentang masa kecilnya. Ternyata dibalik itu semua kakek Slamet mengajarkan kedisiplinan dan juga konsisten terhadap suatu pekerjaan.“Banyak orang belajar loncat-loncat, dengan ini saya diajarkan untuk konsisten dan konsentrasi terhadap sebuah pekerjaan, maka eyang saya bilang kita akan menjadi ahli dalam bidang itu”. Ungkap Slamet.
Dibesarkan oleh kakek yang fanatik terhadap agama membuat Slamet mempunyai basic moral yang cukup kuat. Selain itu dengan ajaran agama yang di terapkan oleh kakeknya, Slamet dikenalkan juga oleh seni dan budaya. “Tidak mungkin orang mengenal agama tanpa mengenal budaya terlebih dahulu”, tutur Slamet. Kakek Slamet adalah seorang kyai di Yogyakarta dan juga seorang yang sangat mengapresiasi tentang seni dan budaya. Slamet di ajarkan untuk mencintai seni dan budaya, diperkenalkan dengan ketoprak, wayang kulit serta berbagai macam seni menari.
Setelah dewasa, Slamet memberanikan diri untuk keluar dari Yogyakarta dan hijrah ke Jakarta. “Dengan penanaman nilai agama yang cukup kuat, serta pengenalan seni dan budaya yang begitu besar terhadap diri saya, saya merasa mempunyai bekal yang cukup untuk bisa mandiri dan berkarya..” ujar Slamet. Kesenian merupakan jawaban dari hati seorang Slamet Rahardjo dalam menjalakan kehidupannya. Selain itu, harapan besar terhadap dirinya dari kakeknya tergambar dari nama yang diberikan sang kakek terhadapnya. “Jadi, kakek saya itu memberi nama saya Slamet Rahardjo, artinya adalah selamat dan makmur, tapi berhubung saya anak pertama jadi maknanya agak lebih besar karena sesungguhnya nama saya itu mengandung amanat dan juga perintah, jangan Cuma mencari selamat untuk mendapatkan suatu kemakmuran”, ungkap Slamet. Harapan besar dan nilai-nilai  yang diberikan sang Kakek, akhirnya Slamet pun mempunyai tekad untuk dapat bertanggung jawab, disiplin dan berani mengambil resiko.
Sesampainya di Jakarta, Slamet banyak menimba ilmu di dunia seni peran yaitu di Akademi Teater Nasional Indonesia dan Akademi Film Nasional Jayabaya hingga sekitar tahun 1968 ia bertemu dengan Teguh Karya. Kedua sekolah seni peran tersebut ternyata tidak dilakukan Slamet hingga tuntas. “Saya menyadari bahwa nampaknya Tuhan tidak mengijinkan say sekolah formal”, tutur Slamet. Ketika ia datang ke rumah Teguh Karya, buku-buku Teguh Karya menjadi sasaran baginya untuk mencari ilmu.
Alm.Teguh Karya banyak mengolah dan membentuk pribadi Slamet Rahardjo sebagai seorang seniman panggung. Menurutnya, Teguh Karya pada saat itu menilai dirinya sebagai pribadi yang mempunyai pemikiran dan analisa yang cukup dalam tentang kesenian. “Kamu mempunyai bakat-bakat dalam betutur, itulah ungkapan Teguh Karya kepada saya..” tutur Slamet. Slamet mengaku bahwa ia adalah seorang yang pemalu, entah bagaimana pada saat itu Slamet pun mendapatkan dukungan yang cukup kuat dari Teguh Karya. Hingga pada akhirnya, Slamet mempuyai keberanian untuk tampil pada pegelaran Teater Populer tahun 1969 dengan lakon “The Ghost” (Hantu). “Saya juga tidak tau mengapa, tiba-tiba ada pemberitaan setelah saya main dalam teater itu, berbunyi ‘Seorang Aktor  telah Lahir’”, tutur Slamet. Sejak saat itu, ia di anggap seperti Golden Boy dalam seni peran, karena pembawaannya dalam perannya yang selalu luwes, bebas dan juga tidak seperti kebanyakan pemain teater pada umumnya. Baginya teater merupakan sebuah tempat dimana manusia bisa mempelajari sebuah kehidupan, apabila dia mau memahami betul peran tersebut dan penerapannya dalam kehidupan. Slamet terus belajar kepada Teguh Karya. “Pak Teguh itu sampai heran dan bingung, kenapa saya terus belajar dengan beliau padahal beliau terus menyuruh saya untuk belajar kepada orang lain, dengan santai saya selalu bertanya seperti ini, ‘ilmu bapak belum habis kan? Saya gali terus, saya timba terus’..” tutur Slamet.
Setelah kariernya mulai menanjak di seni teater, Slamet mencoba untuk berakting di film. Film Ranjang Pengantin (1974) merupakan film yang membuat akting Slamet diperhitungkan dalam dunia perfilman. Melalui aktingnya di film itu, Slamet mendapatkan sebuah penghargaan yaitu Piala Citra sebagai pemeran aktor terbaik. “Walaupun saya menang piala, tapi pak Teguh itu biasa aja, saya sampai heran.. justru beliau menyuruh saya membuang sampah pakai gerobak sampah ketika tayangan ulang saya di televisi pada acara piala citra tersebut”, ungkap Slamet. Ia pun menyadari, maksud dari sikap Alm.Teguh Karya pada saat itu adalah agar Slamet menjadi pribadi yang tidak mudah puas dalam berkarya, tidak sombong dan tetap rendah diri.
Kecintaannya pada dunia seni perang terus membuat Slamet berkarya dan berkarya. “Pak Teguh juga mengajarkan untuk terus bekarya dan juga belajar”, tutur Slamet. Hal tersebut membuat Slamet semakin penasaran dan mencoba mencari tahu sendiri mengenai bidang yang ia geluti. “Saya itu suka baca, semua buku saya baca apalagi yang berkaitan dengan seni peran dan teater, mau yang bahasa Indonesia sampai bahasa Inggris, saya dulu ga pernah belajar bahasa Inggris saya belajar sendiri, kamus saya sampai jebol, rusak” ungkap Slamet. Dari kesenangannya membaca itulah ia mempunyai banyak ilmu dan juga referensi. Dengan demikian semakin banyaklah karya-karya yang dibuat bersama Alm.Teguh Karya baik dalam film ataupun seni peran. Dengan kesenangannya juga dalam membaca, ia mengakui bahwa lebih menghargai berbagai macam aspek kehidupan. Banyak ilmu bisa di petik dari berbagai macam aspek kehidupan.
Slamet juga pernah mencoba untuk berkarya di dunia politik bersama adiknya Eross Djarot. Namun, menurutnya dunia tersebut dirasa kurang pas dengan pribadinya. “Saya bilang sama Eross, ‘udah deh lu aja yang begini, gue gak cocok kayanya’, saya rasa kesenian itu lebih aman, lebih baik bagi saya, lebih jujur.. kok kayanya kalau politik banyak intrik sana sini”.. tutur Slamet.
“Saya lahir dari teater, saya hidup di teater, saya akan terus berkarya di dunia teater, walaupun saya juga orang film, film menurut saya adalah suatu kemajuan tekhnologi kehidupan, tapi saya lebih menyukai teater karena dari sana saya banyak mendapatkan ilmu, akhlak tentang kehidupan”, ungkap Slamet. Saat ini Slamet lebih banyak menghabiskan waktunya di Teater Populer yang berada di Kebon Pala II, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kecintaannya pada dunia seni peran membuatnya terus berkarya dan membagi ilmunya kepada setiap orang yang ingin belajar. Menurut adik kandungnya yang juga bersama Slamet bekerja di Teater Populer, Hendro Djarot, Slamet Rahardjo merupakan sosok kakak dan teman baginya. “Mas Slamet itu bagi saya adalah sosok seorang kakak dan juga teman bagi saya, kecintaannya terhadap budaya dan seni membuat banyak hasil karyanya selalu bisa membuat orang tidak pernah lupa akan sosoknya. Saya sebagai adik patut bangga mempunyai kakak yang hebat seperti beliau”, tutur Hendro.
Hal-hal yang sudah ditanamkan oleh sang kakek untuk tetap konsentrasi dan fokus dalam menjalankan suatu pekerjaan memang dapat membuat Slamet menjadi seorang ahli dalam bidangnya. Belum lama ini, ia mengadakan sebuah pementasan dalam acara Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) 2011 di Surabaya. Dengan lakon “Penagih Hutang”, Teater garapannya ini berhasil meramaikan acara PSLI tersebut dan dapat memukai hati para pecinta seni di Surabaya. “Pak Teguh selalu bilang dan saya juga selalu menanamkan terhadap diri saya serta semua actor yang main di dalam teater bahwa mereka harus paham terhadap permasalahan yang sedang dibahas dalam naskah, lalu dikorelasikan dengan realita yang kini terjadi.” Tutur Slamet.
Dukungan dari Istri tercinta, Mira Suryanegara dan juga kedua anaknya Laras dan Kasih membuat Slamet mempunyai ruang yang luas dalam mengembangkan kecintaannya dalam seni peran ini. Dengan keberhasilan yang sudah diraih ini, Slamet pun tidak mau menjadi tinggi hati. Ia mengatakan bahwa ia akan terus menjadi orang yang terus belajar, belajar dan belajar. “Pribadi saya, andai kata maut belum menjemput saya, saya itdak akan meminta. Sumpah terhadap diri saya sendiri, untuk meminta saja sepertinya agak berat. Saya selalu rendah hati, agar kesombongan-kesombongan yang tinggi tadi mempunyai imbangan. Jadi ada keseimbagan dalam hidup saya”, ujar Slamet.
Menur Asri Kuning

FEATURE 2

“Soto Mie dan Soto Betawi Bang Simin

B

ermula dari berjualan bensin eceran, gorengan hingga es kelapa sudah pernah di jalani oleh bang Simin (57). Bang Simin dan istrinya mpok Inah (47) memulai perjalanan hidupnya sebagai pedagang serabutan. Kehidupan mereka semakin sulit dengan hadirnya tiga orang anak, menuntut bang Simin beralih usaha dengan berjualan soto mie. Dimulai dari warung yang sederhana, kini warung semi permanen menambah menu soto betawi yang dikenal banyak orang dengan nama warung “Soto Bang Simin”.

Bagi sebagian warga Munjul dan sekitarnya, apabila mendengar Soto Mie dan Soto Betawi, pastinya yang terlintas adalah Warung Soto Mie dan Soto Betawi Bang Simin. Warung soto yang selalu ramai dikunjungi pembeli ini memang sudah menjadi andalan warga Munjul dan sekitarnya.
Sejak tahun 1995, bertempat di depan salah satu gang di daerah Munjul Jakarta Timur, bang Simin mulai mengembangkan usahanya. “Gara-gara waktu itu musim ujan, jadi saya berpikir dagang apa nih saya? Kalau musim panas laku, musim ujan juga laku”, ungkap bang Simin, dengan logat Betawinya menceritakan mengapa ia memutuskan untuk berjualan soto. Awal pertama kali membuka warungnya, bang Simin mengatakan bahwa penghasilannya hanya cukup untuk makan saja, tidak lebih dari itu. Dengan kesabaran dan semangat untuk terus mengembangkan usahanya tersebut, akhirnya pada tahun 2003 usaha bang Simin mulai menampakkan hasilnya. “Waktu itu ya gara-gara omongan dari mulut ke mulut”, kata mpok Inah. Dari mulut ke mulut itulah soto bang Simin perlahan-lahan mulai mendapatkan tempat di masyarakat Munjul dan sekitarnya. Awalnya bang Simin menjual sotonya dengan harga Rp 1000,- per porsi pada tahun 1995. Saat ini soto bang Simin dijual dengan harga Rp 10.000,- per porsi. Walaupun dengan harga yang cukup mahal namun pembeli dan pelanggan tidak pernah bosan untuk terus datang ke warung soto ini.

Berkembangnya Usaha
“Ditahun 2003  itu mulai masuk koran Suara Pembaruan, trus Trans TV pada dateng, nah mungkin dari situ juga orang-orang baca ada soto enak di Munjul, jadinya pada penasaran kan, terus banyak yang dateng akhirnya”, kata bang Simin. Setelah banyaknya pemberitaan tentang enaknya soto bang Simin, tidak hanya orang-orang sekitar Munjul saja yang datang ke warung bang Simin. Bahkan bang Simin menceritakan sampai orang-orang yang tinggal di daerah Kelapa Gading hingga Wakil Gubernur DKI Jakarta, Bapak Prijanto juga pernah mampir untuk mencicipi panganan khas Betawi ini.
Omset yang sekarang didapatkan bang Simin tiap harinya bisa mencapai Rp 10 juta. Dengan membuka warungnya tersebut bang Simin juga membuka lapangan pekerjaan bagi keluarganya. Dengan penghasilan yang di dapat, bang Simin juga merenovasi warungnya. Dahulu warung bang Simin hanya terbuat dari sebuah bambu, bisa dikatakan hanyalah sebuah gubug dengan lantai tanah. Namun saat ini warung bang Simin sudah terbuat dari semen yang kokoh, lantai keramik yang bagus  tanpa mengurangi unsur Betawi dari warung tersebut.
Tak sedikit jumlah karyawan yang sekarang bekerja di warung bang Simin. Karyawan yang bekerja saat ini berjumlah 12 orang, dua diantaranya bukan dari keluarga bang Simin. Cabang warung bang Simin saat ini ada di daerah Bintaro dan bang Simin  akan buka cabang lagi di daerah Jakarta Utara. “Soalnya di daerah utara, banyak tuh Betawi-betawi Cina yang demen soto begini”, kata bang Simin mengenai alasan mengapa ia ingin membuka cabang di daerah Jakarta Utara.

Suka dan Duka
Suka duka berjualan soto juga sempat dialami bang Simin. “Suka duka mah pasti ada dek, dimana-mana mah ada pasti, kadang kalo lagi rame ya kita seneng, tapi kalo sepi kadang sedih juga”, ungkap bang Simin. “Kadang suka ada pembeli yang cerewet gitu, tapi kita mah ladenin aja, sabar gitu”, tambah mpok Inah. Dahulu sebelum mencapai sukses yang seperti ini, bang Simin merasakan susahnya menjual satu kilogram daging untuk sotonya hingga larut malam. “Sampe malem bapak sampe bengong nungguin pembeli”, kata bang Simin.
Sepasang suami-istri  yang memang sudah merasakan pahit manisnya kehidupan bersama ini, terus mengembangkan usahanya hingga menjadi sukses seperti sekarang ini. Bang Simin dan mpok Inah tidak pernah menyerah walaupun banyak saja gossip atau berita-berita yang tidak benar tentang usahanya tersebut. “Yaa banyak aja neng, ada yang bilang saya masak pake celana dalemlah, atau apalah.. ya tapi ibu mah sabar aja neng, orang kita pan jualan juga jujur aja” tutur mpok Inah menanggapi berbagai berita tentang usahanya dan suaminya tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi padi, semakin kencang juga anginnya, tetapi hal tersebut dapat di atasi oleh bang Simin dan juga mpok Inah. Saat ini warung bang Simin selalu ramai di kunjungi. Tidak hanya weekend saja, bahkan di hari kerja pun warung bang Simin selalu ramai di kunjungi.

Pelanggan
Menurut salah satu pelanggan soto bang Simin, Aryo (23) mengatakan kalau ia hampir setiap hari mampir ke warung bang Simin ini. “Yaa hampir tiap hari sih mampir kesini, rasa sotonya itu khas banget dan kayanya juga susah nemuin soto mie atau soto Betawi tuh yang kayanya pas gitu rasanya di lidah” ungkap Aryo yang mengaku sudah menjadi pelanggan tetap dari soto buatan bang Simin ini.
Hal serupa juga diungkapkan oleh, Titi (49) warga Munjul ini juga sering membeli soto buatan bang Simin ini. Harga yang dipatok oleh bang Simin pun tak menjadi masalah bagi Titi. Titi lebih sering membeli soto dengan porsi yang banyak untuk keluarga. “Kalau saya mampir makan disini sendiri, saya pasti beli dibungkus buat keluarga dirumah. Soalnya, satu rumah kayanya udah pada suka banget sama sotonya bang Simin. Ga masalah harga mahal juga tapi kalau kualitas makanannya enak”.

Keluarga
Tiga orang anak bang Simin dan mpok Inah berhasil disekolahkan hingga lulus jadi sarjana. “Kalo kata orang Betawi kan kalo mau ngawinin anak kan kudu jual tanah, tapi kalo bapak mah jual soto”, ungkap bang Simin yang menceritakan tidak hanya bisa meluluskan ketiga anaknya menjadi sarjana saja, bahkan hingga membiayai pernikahan ketiga anaknya adalah hasil dari berjualan soto tersebut. “Ibaratnya mah, saya ‘modal dengkul’ aja jualan ini”,  tutur bang Simin. Anak laki-laki pertama bang Simin saat ini banyak membantu bang Simin di warungnya, karena ia lebih suka membantu bang Simin untuk meneruskan usahanya.
Warung yang selalu ramai dengan pembeli ini pastinya mendatangkan kesuksesan yang luar biasa bagi keluarga bang Simin. Namun, keseharian bang Simin tidak ada yang berubah. Bang Simin masih menjadi seorang yang sederhana, ramah dan tidak sombong. Saat ini bang Simin dan istrinya, lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah yang sederhana dengan aksen Betawi yang khas bersama ke-enam cucu mereka.
Bang Simin pun mempunyai cita-cita untuk tetap melestarikan makanan khas Betawi ini. “Kalo perlu sih neng, bapak sih pengen banget buka cabang sampe ke luar kota, biar semua orang bisa nyicipin dan semua orang juga tau kalo makanan Betawi yang satu ini kaga pernah ade matinye neng..”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar